MediaLink

CSO-OGP Indonesia, tetapkan kriteria Renaksi OGI 2018-2020

Jakarta, OGPNews Indonesia – Medialink selaku Sekretariat CSO – OGP Indonesia,
mengadakan FGD “Konsolidasi CSO untuk OGP Indonesia dalam menyusun Rancangan
Usulan Rencana Aksi Open Government Indonesia (OGI) 2020-2022, 30 Januari 2020 di
Hotel Akmani Jakarta.

Kegiatan ini dihadiri oleh jaringan CSO – OGP Indonesia baik yang masuk sebagai Steering
Committee maupun CSO yang baru bergabung dalam inisiatif ini. Adapun CSO yang hadir
adalah Transparansi International Indonesia (TII), Indonesia Corruption Watch (ICW), Aliansi
Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Kapal Perempuan, Perkumpulan Pemilu dan
Demokrasi (Perludem), International NGO Forum on Indonesian Development (INFID),
Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Publish What You Pay (PWYP) Indonesia,
Wahana Visi Indonesia (WVI), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan
Komite Pemantau Legislatif (Kopel).

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Open Government Partnership (OGP) Indonesia, menetapkan
kriteria rencana aksi OGI untuk tahun 2020-2022. Sesuai dengan hasil evaluasi, kriteria yang
akan diusulkan kepada pemerintah bahwa rencana aksi OGI ke depan harus memenuhi
kriteria ini. Adapun kriteria yang dimaksud pertama adanya komitmen yang sama kuat
antara CSO dan Kementerian/Lembaga yang akan melaksanakan rencana aksi. Tanpa adanya
komitmen yang kuat antara CSO dan Pemerintah, maka rencana aksi akan menemukan
kendala-kendala dalam pelaksanaannya.

Kriteria kedua bahwa rencana aksi harus berkaitan dengan nilai-nilai OGP yaitu transparan,
partisipasi, akuntabilitas, pemanfaatan teknologi untuk inovasi dan nilai inklusif. Sehingga
dalam penyusunan rencana aksi harus berkaitan dengan nilai-nilai tersebut. Kriteria ketiga
adalah harus cukup spesifik dan mudah terukur. Semakin spesifik, semakin lebih baik
penilaian pada rencana aksi.

Kriteria keempat berkaitan dengan dampak dari implementasi renaksi. CSO menyepakati,
usulan rencana aksi yang akan diusulkan berikut harus memiliki dampak yang
transformative. Artinya, rencana aksi yang dilaksanakan secara bersama dapat memiliki
dampak yang luar bisa dalam penyelesaian masalah-masalah yang dihadapi oleh warga.
Empat kriteria inilah yang akan disampaikan kepada Pemerintah melalui Sekretariat OGI
untuk menjadi bahan pertimbangan. Sehingga usulan rencana aksi yang tidak memenuhi
kriteria tersebut, untuk tidak ditetapkan sebagai rencana aksi, agar dalam implementasinya
lebih focus pada masalah-masalah krusial yang dihadapi oleh public.

CSO-OGP Indonesia, evaluasi Renaksi OGI 2018-2020

 

Jakarta, OGPNews Indonesia – Medialink selaku Sekretariat CSO – OGP Indonesia,mengadakan FGD “Konsolidasi CSO untuk OGP Indonesia dalam menyusun Rancangan. Usulan Rencana Aksi Open Government Indonesia (OGI) 2020-2022, 30 Januari 2020 di Hotel Akmani Jakarta.

Kegiatan ini dihadiri oleh jaringan CSO – OGP Indonesia baik yang masuk sebagai Steering. Committee maupun CSO yang baru bergabung dalam inisiatif ini. Adapun CSO yang hadir adalah Transparansi International Indonesia (TII), Indonesia Corruption Watch (ICW), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Kapal Perempuan, Perkumpulan Pemilu dan Demokrasi (Perludem), International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, Wahana Visi Indonesia (WVI), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Komite Pemantau Legislatif (Kopel).

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Open Government Partnership (OGP) Indonesia, melakukan evaluasi pada implementasi rencana aksi OGI 2018-2020. Dalam pembahasan ini sesuai dengan hasil evaluasi bersama tentang efektifitas implementasi rencana aksi OGI. Catatan bersama masyarakat sipil terkait implementasi rencana aksi sebelumnya memberikan catatan beberapa hal. Komitmen di kementerian/Lembaga dinilai masih kurang, indikatornya rencana aksi OGI yang ada di Kementerian/Lembaga masih hanya sebagai kegiatan rutin yang ada di instansi tersebut.

Evaluasi berikutnya adalah terkait, kurangnya dukungan dari Kementerian Dalam Negeri untuk implementasi yang dikelola oleh Kementerian/Lembaga. Rencana Aksi yang dijalankan, pelaksanaan di daerah sangat tergantung dari dukungan Kemendagri, karena yang memilikikan kewenangan secara structural dalam memberikan instruksi kepada Pemerintah Daerah. Ada beberapa rencana aksi memiliki kendala dalam implementasinya, seperti Rencana Aksi pada “Akuntabilitas Data PBI”. Kementerian Sosial (Kemensos) tidak dapat memaksa kepada Pemerintah Daerah untuk melakukan verifikasi dan validasi untuk data kepesertaan PBI melalui mekanisme yang sudah disiapkan oleh Kemensos yaitu Sistem Informasi Kesejahteraan Sosial Next Generation (SIKS NG). Hal ini, karena Kemensos tidak memiliki kewenangan untuk memerintah Pemerintah Daerah.

Seangkan evaluasi lainnya adalah terkait pola komunikasi antara CSO yang mengawal rencana aksi dengan Kementerian yang melaksanakan Renaksi. Ko-kreasi hanya terjadi pada saat penyusunan rencana aksi, namun dalam implementasinya Kementerian/Lembaga tidak melibatkan CSO. Begitu juga berkaitan dengan penurunan indicator capaian rencana aksi yang diturunkan oleh pihak Kementerian/Lembaga tanpa ada persetujuan dulu dari Kementerian/Lembaga.

Hasil evaluasi ini, akan menjadi rujuakan dalam penyusunan rencana aksi OGI pada periode 2020-2022 yang sudah mulai disusun oleh masing-masing CSO. Usulan renaksi dari CSO, akan dikoordinasikan oleh Sekretariat CSO-OGP Indonesia yaitu Medialink, dengan menyiapkan “template” yang akan segera dikirimkan ke jaringan CSO.

CSO-OGP dorong Penguatan Civic Space

 

Jakarta, OGPNews Indonesia – Medialink selaku Sekretariat CSO – OGP Indonesia, mengadakan FGD “Konsolidasi CSO untuk OGP Indonesia dalam menyusun Rancangan Usulan Rencana Aksi Open Government Indonesia (OGI) 2020-2022, 30 Januari 2020 di Hotel Akmani Jakarta.

Kegiatan ini dihadiri oleh jaringan CSO – OGP Indonesia baik yang masuk sebagai Steering Committee maupun CSO yang baru bergabung dalam inisiatif ini. Adapun CSO yang hadir adalah Transparansi International Indonesia (TII), Indonesia Corruption Watch (ICW), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Kapal Perempuan, Perkumpulan Pemilu dan Demokrasi (Perludem), International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, Wahana Visi Indonesia (WVI), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Komite Pemantau Legislatif (Kopel).

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Open Government Partnership (OGP) Indonesia, menekankan pada Pemerintah agar membuat rencana aksi secara khusus yang berkaitan dengan penguatan civic space. Hal ini mendasarkan pada catatan Indonesia Report Mechanism (IRM) yang menunjukkan bahwa adanya penyempitan pada civic space (shrinking civic space).

Dalam kegiatan ini menyepakati, untuk penyusunan rencana aksi akan diusulkan oleh masing-masing CSO sesuai dengan isu yang menjadi concer nya. Usulan dari seluruh CSO akan dikompilasi secara bersama, dan akan diusulkan kepada Kementerian/Lembaga terkait melalui mekanisme ko-kreasi yang akan difasilitasi oleh Sekretariat OGI dan Sekretariat CSO-OGP Indonesia.

Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) di Indonesia Bersama Mendukung Open Government Partnership (OGP)

Jakarta – Medialink bersama 107 organisasi Masyarakat Sipil (OMS) di Indonesia melaksanakan Pertemuan nasioanl pada Rabu smapai Kamis (12-13/12) di Jakarta. Pertemuan nasional tersebut khusus untuk untuk membahas “Open Government Partnership, dengan tema OGP, Improving Governance and Renewing Trust”. Pertemuan tahun ini bertujuan untuk memperkuat jaringan dan melakukan konsolidasi dalam gerakan Open Government Indonesia.

Kegiatan ini diadakan oleh Medialink selaku Sekretariat Nasional CSO Open Government Indonesia. Kegiatan ini diadakan setiap 2 tahun dengan mengundang jaringan CSO di seluruh Indonesia yang concern dalam mendorong penyelenggaraan pemerintah yang terbuka. Adapun CSO yang berkesempatan hadir adalah ACEH: Gerak Aceh, Koalisi NGO HAM Aceh SUMATERA UTARA: FITRA Sumut, PUSAKO Padang, RIAU: FITRA Riau, LAMPUNG: ECOTON, YKWS, BANTEN: TRUTH Banten, PATTIRO BANTEN, PATTIRO Serang, Banten Bersih, KOMPAK Lebak, JAWA BARAT: INISIATIF Bandung, CRPG, Fahmina Institute, Garut Gavernment Watch (GGW) AKATIGA, B-TRUST, LBH Bandung, JAWA TENGAH: PATTIRO Semarang, KP2KKN, LBH Semarang, Gebrak Brebes, INSAN Wonosobo, MP3 Wonosobo, Formasi (Kebumen), Laskar Batang, PATTIRO KENDAL, DI YOGYAKARTA: INFEST, IDEA, LKIS, SIGAB, JAWA TIMUR: FITRA Jatim, WALHI Jatim, Komunitas Averroes, IDFOS, Migran Care Jember, Bojonegoro Institute, Malang corruption Watch (MCW), SUMATERA BARAT: Integritas, KALIMATAN BARAT: Gemawan (Kalbar), Link-AR Borneo (Kalbar), KALIMANTAN TIMUR: POKJA 30, JATAM Kaltim, KALIMANTAN TENGAH : AMAN, KH2 Institute, SULAWESI SELATAN: YASMIB, KOPEL Makasar, MALUKU UTARA: FORMAMA, PUSPAHAM, ARIKA MAHINA, SULAWESI TENGGARA: ALPEN, NTT : PIAR Kupang, WALHI NTT, Bengkel APEK, NTB: SOMASI, FITRA NTB, SOLUD, Konsepsi, BALI: SLOKA Institute, LBH Bali, PAPUA dan PAPUA BARAT: KIPRA, PTPPMA, Perdu, Mnukwar, DKI Jakarta: PATTIRO, YAPPIKA-Action Aid, IPC, ICW, MAPPI FHUI, PERLUDEM, ICEL, PWYP Indonesia, FITRA, IBC, KPPOD, Epistema Institute, Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), AJI Jakarta, Transparency International Indonesia (TII), YLBHI, LBH Jakarta, WALHI Pusat, ELSAM, Wahana Visi Indonesia, Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI), Prakarsa, KOPEL, Migran Care, Koalisi Perempuan Indonesia, Intitute Kapal Perempuan, Wahid Institute, ICJ, PSHK, ILAB, P3M, INFID, AJI Indonesia, JATAM, SBMI, KODE Inisiatif, JPPR, JPIK, Article 33, Sawit Watch.

“Sampai saat ini Indonesia masuk tahun ke tujuh keterlibatan dalam Open Government Partnership. Tetap terlaksananya OGP samapi sekarang, faktor utamanya terdapat pada aktornya yang memiliki semangat dalam mengawal, tutur Tanti dari OMS Media Link. Selama perjalanannya capaian OGP yang perlu dilanjutkan dan dikembangkan yaitu adanya model co-creation, dimana adanya kerjasama yang sejajar antara pemerintah dan masyarakat sipil. Sampai saat ini proses paling baru dalam OGP  yaitu semua Renaksi Open Government Indonesia  (OGI) merupakan usulan dari CSO, yang mana belum pernah ada sebelumnyai”, ujar Darwanto dari OMS Media link, Ketua Pelaksana kegiatan ini.

Berdasarkan hasil diskusi dalam pertemuan dua hari tersebut, diperoleh beberapa kesimpulan. Kesmipulan yang ada bermuara pada desakan kepada pemerintah untuk: 1) menjamin pelaksanaan hukum yang mengakui kebebasan berekspresi, berserikat, berkumpul, kebebasan informasi, perindungan saksi dan korban, menghapus, dan kontrol kepada organisasi masyarakat sipil. Mengingat masih ada beberapa pembatasan kebebasan berpendapat di beberapa daerah, 2) memasukkan agenda Open Government Partnership (OGP) dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang melibatkan organisasi masyarakat sipil atau CSO secara konsisten untuk menjamin keberlanjutan implementasinya ke depan. Tata kelola sekretariat bersama Open Government Indonesia (OGI) antara pemerintah dan CSO yang  lebih operasional dan pelaksanaan praktek OGP yang lebih luas. Dengan serius di seluruh daerah di Indonesia dengan dukungan mitra pembangunan yang difasilitasi oleh pemerintah, 3) Presiden terpilih dan anggota parlemen terpilih pada Pemilu 2019, untuk memberikan jaminan keberlanjutan OGP melalui inisiatif ini dengan regulasi yang kuat. Mengingat hingga saat ini, belum ada regulasi yang menjadi payung hukum dalam pelaksanaan inisiatif ini. Paltform OGP harus menjadi salah satu cara dalam implementasi tujuan pembangunan berkelanjutan.

Pada pertemuan ini dihadiri oleh wakil dari Pemerintah seperti Bappenas dan Kantor Staff Presiden. Kegiatan ini salah satunya menghasilkan komunike Komunike Bersama Forum Masyarakat Sipil Untuk Pemerintahan Terbuka: “Negara Harus Melanjutkan Agenda Kemitraan Pemerintah Terbuka”. Dokumen tersebut akan disampaikan kepada Pemerintah, dalam hal ini kepada Presiden terpilih.

Akuntabilitas Sosial Minim

 

Kompas – Jakarta – Akuntabilitas sosial layanan kesehatan di daerah perbatasan amat minim. Selain ketersediaan unit layanan kesehatan dan tenaga kesehatan belum optimal, konektifitas dan aksesibilitas warga terhadap layanan kesehatan juga terkendala.

Hal itu diungkapkan paparan hasil studi awal Media Link tentang akuntabilitas layanan kesehatan di area perbatasan, Selasa (11/12/2018), di Jakarta. Studi itu dilakukan sejak Agustus 2017-Februari 2018 di empat wilayah yakni Kabupaten Bengkalis, Riau, Kabupaten Pasaman Barat, Sumatera Barat, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat; Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat. Media Link ialah lembaga nonpemerintah yang fokus pada isu kebebasan informasi dan demokratisasi media.

“Empat daerah yang dipilih sebagai lokasi studi itu jadi representasi area perbatasan lain. Kami tujukan daerah perbatasan berupa kepulauan seperti di Bengkalis yang berbatasan langsung dengan negara lain seperi Kabupaten Sambas dan daerah terluar yang berbatasan laut lepas di Kabupaten Lombok Barat”, kata Darwanto, peneliti dan penulis buku Akuntabilitas Sosial Pelayanan Kesehatan Daerah Perbatasan.

Menurut Darwanto yang juga Manager Program Media Link, dalam prinsip akuntabilitas sosial terkait layanan kesehatan, ada lima elemen saling terkait, yakni tindakan negara, tindakan warga, infromasi, kanal interaksi warga dan pemerintah, serta mobilisasi sipil. “Tindakan warga ataupun pemerintah terjadi jika informasi tersampaikan ke warga lewat interaksi dan mobilisasi” ujarnya.

Konektifitas

Mujtaba, salah satu peneliti dan penulis buku ini memaparkan, hasil riset itu menunjukkan layanan kesehatan belum diakses dengan baik oleh warga karena konektivitas tempat tinggal warga dan unit layanan kesehatan buruk. Contohnya, puskesmas di kecamatan terdepan Sambas dibangun dan direhabilitas dengan baik, tetapi pembangunan infrastuktur transportasi dan jaringan komunikasi tak terintegrasi “Jadi, warga sulit mengakses puskesmas itu”, ucapnya.

Direktur Eksekutif Indonesia Budget Center Arif Nur Alam menilai, kondisi itu terhadi karena tata ruang tak terintegrasi “Infrastruktur dibangun kadang tak melewati fasilitas layanan publik, termasuk layanan kesehatan. Akses warga menjangkau layanan kesehatan jadi rendah”, ujarnya.

Darwanto menambahkan, partisipasi warga dan arus informasi layanan kesehatan di empat lokasi yang diteliti juga kurang. Warga sulit mengakses jadwal praktik petugas kesehatan di fasilitas kesehatan sehingga harus menginap karena petugas kesehatan tidak tersedia.

Mujtaba menegaskanm hasil studi itu akan merekomendasikan kepada pemerintah daerah untuk mendorong akuntabilitas warga dalam pemenuhan layanan kesehatan di daerah perbatasan. Penggunaan teknologi informasi berupa e-puskesmas dan e-posyandu perlu di jalankan.

Selain itu, pemberdayaan kader-kader kesehatan lokal juga perlu dioptimalkan. Apalagi, sedikit petugas yang mau bekerja di area itu. “akuntabilitas sosial lebih pada kesehatan ialah hak setiap orang”, katanya. (TAN)

Sumber : Kompas, 12 Desember 2018